Makna Peringatan Maulid Nabi SAW
Peringatan Maulid Nabi saw Dulu dan Kini
Menurut catatan sejarah, Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, Gubernur Irbil, Irak, pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). Menurut sumber lain, yang pertama mencetuskan ide Peringatan Maulid Nabi saw. adalah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi sendiri. Waktu itu tujuannya adalah untuk memperkokoh semangat umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara Muslim yang lemah dalam menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci Yerusalem dari tangan kaum Muslim.
Pendek kata, secara sosio-historis, Peringatan Maulid Nabi saw. dilatarbelakangi oleh: di satu sisi Perang Salib yang dilancarkan oleh kaum kafir Kristiani yang ingin merebut Kota Yerusalem (Palestina); di sisi lain melemahnya semangat jihad kaum Muslim dalam melawan kaum kafir Kristiani itu.
Efeknya memang sangat luar biasa. Dengan Peringatan Maulid Nabi saw. inilah Sultan Shalahuddin saat itu mampu membangkitkan kembali kesadaran kaum Muslim sekaligus semangat jihad mereka dalam membela agama Allah ini, khususnya melawan kafir Kristiani dalam Perang Salib.
Sayang, saat ini Peringatan Maulid Nabi saw. sudah jauh bergeser dari motif awalnya. Saat ini, Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan oleh kaum Muslim telah terjebak dalam rutinitas tahunan dan terkungkung dalam acara seremonial belaka. Akibatnya, efeknya pun kurang terasa. Boleh dikatakan, Peringatan Maulid Nabi saw. saat ini gagal membangkitkan kembali kesadaran dan semangat keagamaan serta ruh jihad kaum Muslim, sebagaimana yang pernah dicapai pada masa Sultan Salahuddin delapan abad yang lalu. Padahal, kondisi saat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan pada masa Sultan Shalahuddin; kaum Muslim sama-sama dihadapkan pada musuh yang sama, yakni kekufuran dan orang-orang kafir.
Bedanya, jika pada zaman Sultan Shalahuddin dulu umat Islam berhadapan langsung secara fisik melawan pasukan Salib yang Kristen, maka sekarang kaum Muslim dihadapkan dengan dua musuh sekaligus: secara fisik dengan penjajah Amerika Serikat dan sekutunya (termasuk Isarel), yang saat ini terutama sedang menjajah Palestina, Afganistan, dan Irak; secara pemikiran dengan ideologi Kapitalisme global yang berbasiskan Sekularisme, yang saat ini mendominasi Dunia Islam dan menjadi biang keterpurukan kaum Muslim saat ini di berbagai bidang kehidupan.
Walhasil, saat ini kaum Muslim sesungguhnya dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih rumit ketimbang pada masa Sultan Shalahuddin delapan abad yang lalu. Sebab, saat ini umat Islam diserang oleh orang-orang kafir baik secara fisik maupun pemikiran. Karena itu, Peringatan Maulid Nabi saw. saat ini sejatinya memberikan efek yang lebih dahsyat daripada yang pernah dicapai oleh Sultan Shalahuddin dulu. Jika dulu, melalui Peringatan Maulid Nabi saw. Sultan Shalahuddin berhasil memompa semangat jihad kaum Muslim melawan orang-orang kafir, maka seharusnya peringatan Maulid Nabi saw. saat ini, di samping mampu membangkitkan semangat jihad melawan Amerika, Israel (yang lebih dari setengah abad menduduki Yaerusalem) dan sekutu-sekutunya, juga sekaligus mampu menumbuhkan kesadaran untuk terus menyingkirkan dominasi ideologi Kapitalisme global yang berbasiskan Sekularisme. Jika tidak, tentu Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan setiap tahun akan kehilangan maknanya.
Maulid Nabi saw. dan Relevansinya dengan Kondisi Saat ini
Saat ini umat Islam sesungguhnya sedang dilanda sejumlah persoalan berat dan kompleks.
Pertama: secara pemikiran, benak umat Islam masih dikuasai oleh paham sekularisme; paham yang menihilkan peran agama (Islam) dalam kehidupan. Akibatnya, Islam hanya ada dalam tataran ritual dan spritual belaka; sama persis dengan agama-agama lain. Praktis, dalam kehidupan umum (sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dll) ajaran dan hukum-hukum Islam tidak dipakai.
Kedua: secara hukum, saat ini yang diterapkan di negeri-negeri Islam, khususnya di negeri ini, bukanlah syariah Islam, tetapi hukum-hukum sekular, yang bahkan merupakan warisan penjajah. Lebih dari itu, di Indonesia, sebagian produk UU—seperti UU SDA, UU Listrik, UU Energi, UU KDRT—lebih banyak karena faktor pesanan asing, yang disponsori oleh lembaga-lembaga asing. Bahkan RUU Penanaman Modal yang segera disahkan juga kental dengan kepentingan asing (Kompas, 27/3/2007).
Ketiga: secara sosial, akibat penerapan hukum sekular, negeri ini dilanda berbagai persoalan sosial yang sangat berat dan kompleks seperti: membudayanya korupsi; maraknya perselingkuhan dan seks bebas yang bahkan melibatkan para remaja usia sekolah; merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba; merajelelanya kasus kriminal lain seperti pencurian pembunuhan, bunuh diri; munculnya ragam konflik sosial dan upaya disintegrasi; dll.
Keempat: secara politik, umat Islam pun masih menjadi bulan-bulanan negara-negara kafir. Isu terorisme yang dikembangkan AS masih terus dilancarkan terhadap kaum Muslim sejak Peristiwa 11 September 2001 sampai hari ini. Bahkan di dalam negeri, adanya sejumlah senjata dan bahan peledak yang ditemukan di rumah seseorang baru-baru ini, tidak dikategorikan sebagai tindakan kriminal biasa, tetapi langsung dikaitkan dengan isu terorisme, hanya karena kebetulan yang diduga pelakunya adalah orang Islam. Padahal bukti-bukti ke arah tindakan terorisme masih diselidiki. Hal ini wajar saja mengingat isu terorisme selama ini memang sengaja dikembangkan oleh AS untuk menyudutkan Islam dan kaum Muslim. Ironisnya, penguasa di negeri ini cenderung turut sekenario AS dalam isu terorisme ini. Ada kesan, Pemerintah tunduk pada setiap kebijakan AS. Bahkan, dalam soal nuklir Iran baru-baru ini, Indonesia—yang menjadi anggota tidak tetap DK PBB—menyetujui begitu saja Resolusi No. 1747 DK PBB yang menjatuhkan sanksi terhadap Iran dalam kasus nuklir. Kontan, sejumlah kalangan di DPR, termasuk pimpinan dua ormas terbesar di negeri ini, KH Hasyim Muzadi (NU) dan Din Syamsuddin (Muhamadiyyah), sangat menyesalkan keputusan Pemerintah yang dianggap tidak mencerminkan sikap sebuah negara berdaulat sekaligus wakil dari negara-negara Muslim (Republika, 27/3/2007).
Kondisi saat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kondisi zaman Jahiliah, saat Baginda Rasulullah Muhammad saw. lahir. Secara pemikiran, bangsa Arab saat itu dikuasai oleh paganisme (keberhalaan). Secara sosial, perjudian, perzinaan, mabuk-mabukkan dan membunuh bayi perempuan yang baru lahir telah menjadi tradisi mereka. Kebanggaan akan suku ('ashhabiyyah) juga selalu mewarnai kehidupan sosial mereka, yang sering menjadi bibit perpecahan di antara mereka, dan tidak jarang berujung pada saling bunuh satu sama lain. Secara hukum, yang berlaku saat itu adalah hukum Jahiliah, yang lebih memihak kepada pihak yang kuat. Adapun secara politik, bangsa Arab saat itu berada dalam bayang-bayang dua negara besar: Persia dan Romawi. (M. Rawwas Qal'ahji, 1996).
Di tengah-tengah kondisi inilah Muhammad saw. lahir. Dengan kelahiran Muhammad saw., yang kemudian menjadi nabi dan rasul Allah, dalam waktu yang relatif singkat, yaitu 23 tahun, masyarakat Arab Jahiliah itu dengan izin Allah ternyata berubah secara drastis. Mereka ternyata bisa bersatu di bawah panji-panji Tauhid. Mereka bersatu bukan karena faktor nasionalisme, tetapi karena faktor akidah, di bawah panji-panji Islam yang memiliki prinsip ajaran yang universal. Bahkan mereka bersatu dalam satu wadah negara, yakni Daulah Islam, di Madinah. Dengan itulah bangsa Arab yang tadinya Jahiliah dan berperadaban rendah berubah secara revolusioner menjadi bangsa yang maju dan berperadaban tinggi. Bahkan negara mereka, Daulah Islam yang belum lama berdiri, berhasil dalam waktu singkat meruntuhkan dominasi kekuasaan Persia dan Romawi; dua negara adidaya saat itu.
Itulah sebetulnya makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad saw., yang kemudian diangkat menjadi nabi dan rasul oleh Allah SWT.
Dengan penjelasan di atas, jelas sangatlah penting bagi kaum Muslim untuk merefleksikan kembali makna hakiki dari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw. itu pada saat ini. Karena itu, sudah tiba saatnya seluruh umat Islam dari berbagai aliran pemikiran, mazhab, organisasi, maupun harakah dakwah untuk menyatukan langkah, merapatkan barisan dan berjuang bersama-sama untuk meraih kembali keberhasilan dan kemajuan yang pernah dicapai oleh Rasulullah Muhammad saw.
Khatimah
Sesungguhnya Peringatan Maulid Nabi saw. bukan sekadar kegiatan seremonial dan rutinitas tahunan yang akan berlalu begitu saja tanpa memberikan perubahan sosial dan politik kepada umat Islam. Momentum Peringatan Maulid Nabi saw. hendaknya memberikan bekas dan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki masyarakat menuju umat terbaik (khaira ummah), sebagaimana firman Allah:
Menurut catatan sejarah, Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, Gubernur Irbil, Irak, pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138-1193 M). Menurut sumber lain, yang pertama mencetuskan ide Peringatan Maulid Nabi saw. adalah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi sendiri. Waktu itu tujuannya adalah untuk memperkokoh semangat umat Islam umumnya, khususnya mental para tentara Muslim yang lemah dalam menghadapi serangan tentara Salib dari Eropa, yang ingin merebut tanah suci Yerusalem dari tangan kaum Muslim.
Pendek kata, secara sosio-historis, Peringatan Maulid Nabi saw. dilatarbelakangi oleh: di satu sisi Perang Salib yang dilancarkan oleh kaum kafir Kristiani yang ingin merebut Kota Yerusalem (Palestina); di sisi lain melemahnya semangat jihad kaum Muslim dalam melawan kaum kafir Kristiani itu.
Efeknya memang sangat luar biasa. Dengan Peringatan Maulid Nabi saw. inilah Sultan Shalahuddin saat itu mampu membangkitkan kembali kesadaran kaum Muslim sekaligus semangat jihad mereka dalam membela agama Allah ini, khususnya melawan kafir Kristiani dalam Perang Salib.
Sayang, saat ini Peringatan Maulid Nabi saw. sudah jauh bergeser dari motif awalnya. Saat ini, Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan oleh kaum Muslim telah terjebak dalam rutinitas tahunan dan terkungkung dalam acara seremonial belaka. Akibatnya, efeknya pun kurang terasa. Boleh dikatakan, Peringatan Maulid Nabi saw. saat ini gagal membangkitkan kembali kesadaran dan semangat keagamaan serta ruh jihad kaum Muslim, sebagaimana yang pernah dicapai pada masa Sultan Salahuddin delapan abad yang lalu. Padahal, kondisi saat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan pada masa Sultan Shalahuddin; kaum Muslim sama-sama dihadapkan pada musuh yang sama, yakni kekufuran dan orang-orang kafir.
Bedanya, jika pada zaman Sultan Shalahuddin dulu umat Islam berhadapan langsung secara fisik melawan pasukan Salib yang Kristen, maka sekarang kaum Muslim dihadapkan dengan dua musuh sekaligus: secara fisik dengan penjajah Amerika Serikat dan sekutunya (termasuk Isarel), yang saat ini terutama sedang menjajah Palestina, Afganistan, dan Irak; secara pemikiran dengan ideologi Kapitalisme global yang berbasiskan Sekularisme, yang saat ini mendominasi Dunia Islam dan menjadi biang keterpurukan kaum Muslim saat ini di berbagai bidang kehidupan.
Walhasil, saat ini kaum Muslim sesungguhnya dihadapkan pada persoalan yang jauh lebih rumit ketimbang pada masa Sultan Shalahuddin delapan abad yang lalu. Sebab, saat ini umat Islam diserang oleh orang-orang kafir baik secara fisik maupun pemikiran. Karena itu, Peringatan Maulid Nabi saw. saat ini sejatinya memberikan efek yang lebih dahsyat daripada yang pernah dicapai oleh Sultan Shalahuddin dulu. Jika dulu, melalui Peringatan Maulid Nabi saw. Sultan Shalahuddin berhasil memompa semangat jihad kaum Muslim melawan orang-orang kafir, maka seharusnya peringatan Maulid Nabi saw. saat ini, di samping mampu membangkitkan semangat jihad melawan Amerika, Israel (yang lebih dari setengah abad menduduki Yaerusalem) dan sekutu-sekutunya, juga sekaligus mampu menumbuhkan kesadaran untuk terus menyingkirkan dominasi ideologi Kapitalisme global yang berbasiskan Sekularisme. Jika tidak, tentu Peringatan Maulid Nabi saw. yang diselenggarakan setiap tahun akan kehilangan maknanya.
Maulid Nabi saw. dan Relevansinya dengan Kondisi Saat ini
Saat ini umat Islam sesungguhnya sedang dilanda sejumlah persoalan berat dan kompleks.
Pertama: secara pemikiran, benak umat Islam masih dikuasai oleh paham sekularisme; paham yang menihilkan peran agama (Islam) dalam kehidupan. Akibatnya, Islam hanya ada dalam tataran ritual dan spritual belaka; sama persis dengan agama-agama lain. Praktis, dalam kehidupan umum (sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dll) ajaran dan hukum-hukum Islam tidak dipakai.
Kedua: secara hukum, saat ini yang diterapkan di negeri-negeri Islam, khususnya di negeri ini, bukanlah syariah Islam, tetapi hukum-hukum sekular, yang bahkan merupakan warisan penjajah. Lebih dari itu, di Indonesia, sebagian produk UU—seperti UU SDA, UU Listrik, UU Energi, UU KDRT—lebih banyak karena faktor pesanan asing, yang disponsori oleh lembaga-lembaga asing. Bahkan RUU Penanaman Modal yang segera disahkan juga kental dengan kepentingan asing (Kompas, 27/3/2007).
Ketiga: secara sosial, akibat penerapan hukum sekular, negeri ini dilanda berbagai persoalan sosial yang sangat berat dan kompleks seperti: membudayanya korupsi; maraknya perselingkuhan dan seks bebas yang bahkan melibatkan para remaja usia sekolah; merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba; merajelelanya kasus kriminal lain seperti pencurian pembunuhan, bunuh diri; munculnya ragam konflik sosial dan upaya disintegrasi; dll.
Keempat: secara politik, umat Islam pun masih menjadi bulan-bulanan negara-negara kafir. Isu terorisme yang dikembangkan AS masih terus dilancarkan terhadap kaum Muslim sejak Peristiwa 11 September 2001 sampai hari ini. Bahkan di dalam negeri, adanya sejumlah senjata dan bahan peledak yang ditemukan di rumah seseorang baru-baru ini, tidak dikategorikan sebagai tindakan kriminal biasa, tetapi langsung dikaitkan dengan isu terorisme, hanya karena kebetulan yang diduga pelakunya adalah orang Islam. Padahal bukti-bukti ke arah tindakan terorisme masih diselidiki. Hal ini wajar saja mengingat isu terorisme selama ini memang sengaja dikembangkan oleh AS untuk menyudutkan Islam dan kaum Muslim. Ironisnya, penguasa di negeri ini cenderung turut sekenario AS dalam isu terorisme ini. Ada kesan, Pemerintah tunduk pada setiap kebijakan AS. Bahkan, dalam soal nuklir Iran baru-baru ini, Indonesia—yang menjadi anggota tidak tetap DK PBB—menyetujui begitu saja Resolusi No. 1747 DK PBB yang menjatuhkan sanksi terhadap Iran dalam kasus nuklir. Kontan, sejumlah kalangan di DPR, termasuk pimpinan dua ormas terbesar di negeri ini, KH Hasyim Muzadi (NU) dan Din Syamsuddin (Muhamadiyyah), sangat menyesalkan keputusan Pemerintah yang dianggap tidak mencerminkan sikap sebuah negara berdaulat sekaligus wakil dari negara-negara Muslim (Republika, 27/3/2007).
Kondisi saat ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kondisi zaman Jahiliah, saat Baginda Rasulullah Muhammad saw. lahir. Secara pemikiran, bangsa Arab saat itu dikuasai oleh paganisme (keberhalaan). Secara sosial, perjudian, perzinaan, mabuk-mabukkan dan membunuh bayi perempuan yang baru lahir telah menjadi tradisi mereka. Kebanggaan akan suku ('ashhabiyyah) juga selalu mewarnai kehidupan sosial mereka, yang sering menjadi bibit perpecahan di antara mereka, dan tidak jarang berujung pada saling bunuh satu sama lain. Secara hukum, yang berlaku saat itu adalah hukum Jahiliah, yang lebih memihak kepada pihak yang kuat. Adapun secara politik, bangsa Arab saat itu berada dalam bayang-bayang dua negara besar: Persia dan Romawi. (M. Rawwas Qal'ahji, 1996).
Di tengah-tengah kondisi inilah Muhammad saw. lahir. Dengan kelahiran Muhammad saw., yang kemudian menjadi nabi dan rasul Allah, dalam waktu yang relatif singkat, yaitu 23 tahun, masyarakat Arab Jahiliah itu dengan izin Allah ternyata berubah secara drastis. Mereka ternyata bisa bersatu di bawah panji-panji Tauhid. Mereka bersatu bukan karena faktor nasionalisme, tetapi karena faktor akidah, di bawah panji-panji Islam yang memiliki prinsip ajaran yang universal. Bahkan mereka bersatu dalam satu wadah negara, yakni Daulah Islam, di Madinah. Dengan itulah bangsa Arab yang tadinya Jahiliah dan berperadaban rendah berubah secara revolusioner menjadi bangsa yang maju dan berperadaban tinggi. Bahkan negara mereka, Daulah Islam yang belum lama berdiri, berhasil dalam waktu singkat meruntuhkan dominasi kekuasaan Persia dan Romawi; dua negara adidaya saat itu.
Itulah sebetulnya makna terpenting dari kelahiran Nabi Muhammad saw., yang kemudian diangkat menjadi nabi dan rasul oleh Allah SWT.
Dengan penjelasan di atas, jelas sangatlah penting bagi kaum Muslim untuk merefleksikan kembali makna hakiki dari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw. itu pada saat ini. Karena itu, sudah tiba saatnya seluruh umat Islam dari berbagai aliran pemikiran, mazhab, organisasi, maupun harakah dakwah untuk menyatukan langkah, merapatkan barisan dan berjuang bersama-sama untuk meraih kembali keberhasilan dan kemajuan yang pernah dicapai oleh Rasulullah Muhammad saw.
Khatimah
Sesungguhnya Peringatan Maulid Nabi saw. bukan sekadar kegiatan seremonial dan rutinitas tahunan yang akan berlalu begitu saja tanpa memberikan perubahan sosial dan politik kepada umat Islam. Momentum Peringatan Maulid Nabi saw. hendaknya memberikan bekas dan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki masyarakat menuju umat terbaik (khaira ummah), sebagaimana firman Allah:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS al-Ahzab [33]: 21).
Hanya dengan itulah umat Islam dapat meraih kembali kemuliaannya yang hakiki, yang hakikatnya memang hanya milik mereka. Maha Benar Allah Yang berfirman:
وَِللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin. (QS al-Munafiqun [63]: 8).
muhammad nabiku :)
good artikel gan,,
kamu yang kafir , menghina agama lain = manusia kafir
Hanya Rasullah SURI TELADAN Umat Islam